Senin, 24 September 2007

BAB IV : HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Kadar Air

Kadar air merupakan banyaknya air yang terkandung dalam bahan yang dinyatakan dalam persen. Kadar air juga salah satu karakteristik yang sangat penting pada bahan pangan, karena air dapat mempengaruhi penampakan, tekstur, dan citarasa pada bahan pangan. Kadar air dalam bahan pangan ikut menentukan kesegaran dan daya awet bahan pangan tersebut, kadar air yang tinggi mengakibatkan mudahnya bakteri, kapang, dan khamir untuk berkembang biak, sehingga akan terjadi perubahan pada bahan pangan (Winarno, 1997).

Kadar Air bubuk cokelat yang dihasilkan berkisar antara 3,00 % - 4, 85 %, Rata-rata kadar air bubuk cokelat yaitu 3,81 % (Lampiran 4a). Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 4b) menunjukkan bahwa waktu fermentasi (F) dan lama pengeringan (K) berpengaruh sangat nyata (P≤ 0,01) terhadap kadar air bubuk cokelat yang dihasilkan, sedangkan faktor interaksi antara keduanya berpengaruh tidak nyata (P>0,05).

Gambar 9a. Pengaruh waktu fermentasi terhadap kadar air bubuk cokelat BNT 0,01=0,14, KK=5,23 (notasi yang berbeda menunjukkan perbedaan sangat nyata faktor waktu fermentasi).

Hasil uji lanjut BNT0,01 (Gambar 9a) menunjukkan bahwa perlakuan waktu fermentasi memberikan kadar air yang berbeda sangat nyata (P≤ 0.01) terhadap bubuk cokelat yang dihasilkan. Perlakuan waktu fermentasi 3 hari kadar air bubuk cokelat yang diperoleh adalah 3,58 % (kadar air bubuk cokelat terendah), dan waktu fermentasi 5 hari diperoleh kadar airnya 3,75 %, sedangkan 7 hari memberikan kadar air bubuk cokelat tertinggi yaitu 4,11 %.

Kadar air bubuk cokelat yang dihasilkan cenderung meningkat dengan semakin meningkatnya waktu fermentasi. Pada awal fermentasi sekitar 48 jam, pada biji yang difermentasi terjadi reaksi penguraian gula invert dan air menghasilkan etanol dan CO2, kemudian pemecahan etanol menjadi asam laktat dan air. Hal ini menyebabkan selama berlangsungnya waktu fermentasi terjadi peningkatan kadar air dalam biji cokelat. Menurut Buckle (1987) sifat-sifat bahan hasil fermentasi ditentukan oleh mutu bahan pangan dan sifat-sifat asal bahan pangan itu sendiri, serta perubahan yang terjadi setelah fermentasi merupakan hasil fermentasi. Fermentasi oleh mikroorganisme yang dikehendaki memberi flavor, bentuk yang bagus (bouquet ) dan tekstur bahan pangan yang difermentasi. Waktu fermentasi adalah salah satu faktor terpenting penyebab meningkatnya kadar air sehingga dengan meningkatnya waktu fermentasi maka kadar air dalam bubuk coklat akan meningkat pula (Mulato, 2003).


Gambar 9b. Pengaruh lama pengeringan terhadap kadar air bubuk cokelat BNT 0,01=0,14, KK=5,23 (notasi yang berbeda menunjukkan perbedaan sangat nyata faktor lama pengeringan).

Hasil uji lanjut BNT0,01 (Gambar 9b) menunjukkan bahwa kadar air bubuk cokelat antara satu perlakuan lama pengeringan dengan perlakuan lama pengeringan lainnya berbeda sangat nyata (P≤0,01). Pada lama pengeringan 2 hari diperoleh kadar air bubuk cokelat tertinggi yaitu 4,48%, lama pengeringan 3 hari dihasilkan kadar air sebesar 3,65%, sedangkan lama pengeringan 4 hari dihasilkan kadar air terendah yaitu 3,30%.

Pada gambar terlihat bahwa kadar air cenderung menurun dengan meningkatnya lama pengeringan. Wirakartakusumah et al. (1992) menyatakan bahwa proses pengeringan sangat dipengaruhi oleh suhu dan lama pengeringan. Pengeringan dengan menggunakan suhu yang tinggi dapat mengakibatkan pengeringan yang tidak merata yaitu bagian luar kering sedangkan bagian dalam masih banyak mengandung air (Buckle et al., 1988; Muchtadi et al., 1992). Menurut Earle (1981) Faktor-faktor utama yang mempengaruhi kecepatan pengeringan dari suatu bahan pangan adalah : (a). Sifat fisik dan kimia dari produk (bentuk, ukuran, komposisi, kadar air), (b). Pengaturan geometris produk sehubungan dengan permukaan alat atau media perantara pemindah panas (seperti nampan untuk pengeringan). (c). Sifat-sifat fisik dari lingkungan alat pengering (suhu, kelembaban, dan kecepatan udara). (d). Karakteristik alat pengering (Efisiensi pemindahan panas).

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan faktor waktu fermentasi dan lama pengeringan terhadap mutu bubuk cokelat, maka dapat diambil beberapa kesimpulan:

1. Waktu fermentasi berpengaruh sangat nyata (P≤ 0,01) terhadap kadar air, kadar lemak, kadar abu dan nilai organoleptik warna, aroma, namun berpengaruh tidak nyata (P>0,05) terhadap kadar serat kasar, nilai organoleptik tekstur.

2. Faktor lama pengeringan berpengaruh sangat nyata (P≤ 0,01) terhadap kadar air, kadar lemak kadar abu dan nilai organoleptik warna, namun berpengaruh tidak nyata (P>0,05) terhadap kadar serat kasar, nilai organoleptik, aroma dan tekstur.

3. Interaksi antara waktu fermentasi dan lama pengeringan memberikan pengaruh yang tidak nyata (P>0,05) terhadap kadar air, kadar lemak, kadar abu, kadar serat kasar, organoleptik warna, aroma, dan tekstur.

4. Bubuk cokelat yang terbaik pada penelitian berdasarkan tingkat kesukaan panelis adalah dengan perlakuan waktu fermentasi 7 hari dengan perlakuaan lama pengeringan 4 hari. Hasil analisis bubuk cokelat yang dihasilkan menunjukkan bahwa kandungan rata-rata kadar air sebesar 3,81%, kadar lemak 4,70%, kadar abu 9,63%, dan serat kasar 2,86%. Sedangkan untuk uji organoleptik terhadap warna 3,43 (biasa sampai suka), aroma 3,41 (biasa sampai suka), tekstur 3,64 (biasa sampai suka).

5. Nilai yang diperoleh dari hasil penelitian ini telah memenuhi parameter standar mutu Standar Nasional Indonesia bubuk cokelat (SNI : 01-3747-1995).

5.2 Saran

1. Diharapkan adanya penelitian lainnya untuk mengetahui pengaruh penambahan stater atau jenis khamir terhadap waktu fermentasi biji cokelat.

2. Perlu dilakukan penelitian lainnya untuk mengoptimalkan proses pemisahan lemak cokelat dengan menggunakan berbagai metode atau perlakuan pemisahan lemak.

3. Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk mengetahui daya simpan bubuk cokelat.

4. Diharapkan adanya penelitian lanjutan terhadap lama penyangraian dan metode penyangraian.

Jumat, 31 Agustus 2007

Abstrak

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat cara pengolahan biji cokelat menjadi tepung cokelat, meningkatkan nilai jual komoditi cokelat, dan termasuk didalamnya usaha penganekaragaman produk cokelat.

4.5 Uji Organoleptik

Uji organoleptik bubuk cokelat menggunkan uji hedonik yang meliputi warna, aroma, dan tekstur bubuk cokelat. Panelis yang digunakan adalah panelis semi terlatih sebanyak 20 orang.

4.5.1 Warna

Warna merupakan parameter pertama yang menentukan tingkat penerimaan konsumen terhadap suatu produk. Penelitian secara subyektif dengan penglihatan masih sangat menentukan dalam pengujian organoleptik warna.

Pengujian organoleptik yang dilakukan pada bubuk cokelat (Lampiran 8a) menunjukkan bahwa rata-rata kesukaan panelis terhadap warna bubuk cokelat yang dihasilkan berkisar antara 1,85 – 3,70 dan rata-rata kesukaan secara keseluruhan adalah 3,10 (penerimaan biasa-suka) terhadap warna yang dihasilkan.

Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 8b) menunjukkan bahwa waktu fermentasi (F) dan lama pengeringan (K), serta interaksi antara kedua perlakuan (FK) tersebut berpengaruh tidak nyata (P>0,01) terhadap bubuk cokelat yang dihasilkan. Hal ini menunjukkan bahwa waktu fermentasi dan lama pengeringan bubuk cokelat tidak mempengaruhi tingkat kesukaan panelis terhadap aroma bubuk cokelat yang dihasilkan.

Yang berperan dalam pembentukan warna yaitu waktu fermentasi, lama pengeringan, dan proses penyangraian. Pada proses fermentasi terjadi penguraian senyawa polifenol, hal ini berhubungan dengan semakin tinggi kandungan polifenol dalam biji maka mendorong terjadinya reaksi maillard, dengan bantuan polifenol oksidase menghasilkan warna bubuk cokelat semakin cerah dan warna cokelat yang dominan. Proses penyangraian merupakan perlakuan panas biji cokelat sebagai proses pembentukan flavor dan citarasa khas cokelat. Dalam biji cokelat terdapat senyawa pembentuk citarasa dan aroma khas cokelat, diantaranya asam amino dan gula pereduksi. Biji yang dipanaskan pada suhu dan waktu yang cukup akan menyebabkan senyawa pembentuk citarasa dan aroma tersebut bereaksi membentuk senyawa maillard, sedangkan senyawa gula reduksi juga mengalami reaksi maillard.

4.5.2 Aroma

Aroma merupakan salah satu faktor penting bagi konsumen dalam memilih produk makanan yang disukai. Winarno (1997) mengatakan bahwa dalam banyak hal kelezatan makanan ditentukan oleh aroma atau bau dari makanan tersebut.

Data pengujian nilai organoleptik dilakukan pada bubuk cokelat (Lampiran 9a) menunjukkan bahwa rata-rata 2,654,10 dengan rata-rata kesukaan panelis secara keseluruhan adalah 3,45 (nilai penerimaan biasa) terhadap aroma bubuk cokelat.

Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 9b) menunjukkan bahwa waktu fermentasi dan lama pengeringan serta interaksi kedua perlakuan tersebut juga berpengaruh tidak nyata (P>0,01) terhadap bubuk cokelat yang dihasilkan. Hal ini menunjukkan bahwa waktu fermentasi dan lama pengeringan bubuk cokelat tidak mempengaruhi tingkat kesukaan panelis terhadap aroma bubuk cokelat yang dihasilkan.

4..3 Tekstur

Pengujian yang dilakukan pada bubuk cokelat (Lampiran 10a) menunjukkan bahwa rata- rata kesukaan panelis terhadap tekstur bubuk cokelat berkisar antara 1,50 - 4,10 dengan rata-rata keseluruhan adalah 3,33. Nilai ini adalah penerimaan tidak suka sampai suka terhadap tekstur bubuk cokelat.

Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 10b) menunjukkan bahwa waktu fermentasi dan lama pengeringan serta interaksi kedua perlakuan tersebut juga berpengaruh tidak nyata (P>0,01) terhadap bubuk cokelat yang dihasilkan.

4.4 Kadar Serat Kasar

Kadar Serat kasar yang diperoleh dari penelitian bubuk cokelat ini berkisar antara 2,64 % -3,07 % dengan rata-rata 2,86% (Lampiran 7a). Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 7b) menunjukkan bahwa waktu fermentasi dan lama pengeringan serta interaksi kedua perlakuan tersebut berpengaruh tidak nyata (P>0,01) terhadap kadar serat kasar bubuk cokelat yang dihasilkan.

Menurut Desrosier (1988), jika suatu bahan pangan mengandung serat kasar yang tinggi maka relatif sangat merugikan karena serat kasar berpotensi dalam mengurangi serapan zat gizi, protein, lemak, vitamin dan mineral. Serat kasar (Crude Fiber) tersusun atas selulosa, gum, hemiselulosa, pektin dan lignin (Muchtadi, et al., 1992), juga dengan faktor pengolahan atau perlakuan terhadap bahan pangan sangat berpengaruh terhadap kandungan seratnya.

Kamis, 30 Agustus 2007

4.3 Kadar Abu

Pengukuran kadar abu bertujuan untuk mengetahui besarnya kandungan mineral yang terdapat dalam bubuk cokelat. Menurut Sudarmadji et. al. (1989), abu adalah zat anorganik sisa hasil pembakaran suatu bahan organik. Penentuan kadar abu berhubungan erat dengan kandungan mineral yang terdapat dalam suatu bahan, kemurnian serta kebersihan suatu bahan yang dihasilkan. Semakin tinggi kadar abu maka bubuk cokelat tersebut kurang bersih dalam pengolahannya, yaitu pada saat pemisahan biji dari kulit ari ada sebahagian kulit yang ikut menjadi bubuk cokelat (Wirna, 2005).

Kadar abu bubuk cokelat yang diperoleh pada penelitian berkisar antara 8,70% - 10,64 % dengan rata-rata kadar bubuk cokelat keseluruhan adalah 9,63 % (Lampiran 6a). Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 6b) menunjukkan bahwa waktu fermentasi dan lama pengeringan berpengaruh sangat nyata (P≤0,01) terhadap kadar abu bubuk cokelat yang dihasilkan sedangkan faktor interaksi keduanya berpengaruh tidak nyata (P>0,01).

Gambar 11a. Pengaruh waktu fermentasi terhadap kadar abu bubuk cokelat BNT 0,01= 0,13, KK= 3,04 (notasi yang berbeda menunjukkan perbedaan sangat nyata faktor waktu fermentasi).

Hasil uji lanjut BNT (Gambar 11a) menunjukkan bahwa perlakuan waktu fermentasi memberikan kadar abu yang berbeda sangat nyata (P≤0,01) terhadap bubuk cokelat yang dihasilkan. Perlakuan waktu fermentasi 3 hari memberikan kadar abu bubuk cokelat tertinggi yaitu 10,03% pada waktu fermentasi 5 hari kadar abu 9,66%, sedangkan pada waktu fermentasi 7 hari kadar abu bubuk cokleat yang diperoleh 9,19% (kadar abu bubuk cokelat terendah).

Gambar 11b. Pengaruh lama pengeringan terhadap kadar abu bubuk cokelat BNT 0,01= 0,13, KK= 3,04 (notasi yang berbeda menunjukkan perbedaan sangat nyata faktor lama pengeringan).

Hasil Uji lanjut BNT0,01 (Gambar 11b) menunjukkan bahwa kadar abu antara satu perlakuan lama pengeringan dengan perlakuan lama pengeringan lainnya berbeda sangat nyata (P≤0,01). Pada lama pengeringan 2 hari diperoleh kadar abu bubuk cokelat terendah 9,26%, lama pengeringan 3 hari kadar abu sebesar 9,53%, sedangkan pada lama pengeringan 4 hari dihasilkan kadar abu tertinggi yaitu 10,09%. Dengan bertambahnya waktu pengeringan maka kadar abu cenderung meningkat pula, karena proses pengeringan memicu penyerapan mineral ke dalam biji cokelat, kadar abu yang terlalu tinggi dapat menyebabkan warna yang kurang bagus.

Mekanisme pengeringan berlangsung secara perlahan dan bertahap, sehingga kandungan zat-zat sisa fermentasi yang terkandung di dalam biji cokelat dapat menguap dengan sempurna tanpa ada hambatan. Pengeringan dengan suhu tinggi sejak awal proses pengeringan mengakibatkan penurunan mutu biji cokelat. Hal ini disebabkan penguapan air dan kandungan zat-zat dalam biji cokelat terjadi secara mendadak, yang mengakibatkan perubahan bentuk fisik biji cokelat seperti pengkerutan dan pengerasan kulit (Earle. 1981). Hal ini berdampak terhadap terhambatnya proses penguapan senyawa asam hasil fermentasi, pengeringan yang terlalu lama juga berdampak meningkatnya kadar abu dalam biji cokelat. Jenis abu yang tedapat dalam biji cokelat diantaranya kalium, magnesium, zat besi (Bernard, 1989). Namun kandungan abu dalam biji cokelat sangat dibatasi karena dapat mempengaruhi warna dan tekstur.



4.2 Kadar Lemak

Kadar lemak dari bubuk cokelat yang dihasilkan berkisar antara 4,07 % - 5.40% dengan rata-rata sebesar 4,70 % (Lampiran 5a). Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 5b) menunjukkan bahwa waktu fermentasi dan lama pengeringan berpengaruh sangat nyata (P≤ 0,01) terhadap kadar lemak bubuk cokelat yang dihasilkan, sedangkan faktor interaksi keduanya berpengaruh tidak nyata (P>0,01).

Gambar 10a. Pengaruh waktu fermentasi terhadap kadar lemak bubuk cokelat BNT 0,01= 0,18, KK= 5,99 (notasi yang berbeda menunjukkan perbedaan sangat nyata faktor waktu fermentasi).

Hasil uji lanjut BNT0,01 (Gambar 10a) menunjukkan bahwa perlakuan waktu fermentasi memberikan kadar lemak yang berbeda sangat nyata (P≤ 0,01) terhadap bubuk cokelat yang dihasilkan. Perlakuan waktu fermentasi 3 hari di peroleh kadar lemak terendah yaitu 4,42%, waktu fermentasi 5 hari kadar lemak 4,67%, sedangkan waktu fermentasi 7 hari memberikan kadar lemak tertinggi 5,00%. Kadar lemak bubuk cokelat cenderung meningkat dengan semakin meningkatnya waktu fermentasi. Hal ini diduga karena pada proses fermentasi yang berlangsung secara anaerobik, mikroorganisme yang tumbuh pada proses fermentasi meningkatkan kandungan lemak dengan mengubah senyawa-senyawa seperti polifenol, protein dan gula. Mikroorganisme yang berperan dalam proses penguraian senyawa-senyawa tersebut adalah Streptococcus laktis dan Sacharomyces cerevisiae (Rachman, 1989).

Lemak tidak mudah langsung digunakan oleh mikroba jika dibandingkan dengan protein dan karbohidrat, namun beberapa khamir dan bakteri dapat memperoleh kebutuhan karbon dan energi dari persenyawaan lemak. Mikroba yang tumbuh dalam kondisi anaerobik pada media yang mengandung lemak akan mengubah lemak tersebut menjadi karbon dioksida dan etanol (Ketaren, 1986).

Gambar 10b. Pengaruh lama pengeringan terhadap kadar lemak bubuk cokelat BNT 0,01= 0,18, KK= 5,99 (notasi yang berbeda menunjukkan perbedaan sangat nyata faktor lama pengeringan).

Hasil Uji BNT0,01 (Gambar 10b) menunjukkan bahwa kadar lemak antara satu perlakuan lama pengeringan dengan perlakuan lama pengeringan lainnya berbeda sangat nyata (P≤0,01). Pada lama pengeringan 2 hari diperoleh kadar lemak bubuk cokelat terendah yaitu 4,42%, pada lama pengeringan 3 hari kadar lemak sebanyak 4,69%, sedangkan pada lama pengeringan 4 hari dihasilkan kadar lemak tertinggi yaitu 4,98%.

Umumnya diketahui bahwa banyak produk makanan mengalami periode kecepatan pengeringan konstan dengan awal yang cepat diikuti oleh periode dengan kecepatan pengeringan menurun yang lebih lamban, yang terdiri dari dua kecepatan yang berbeda. Selama periode konstan, air menguap dari permukaan dengan kecepatan tergantung pada kondisi pengeringan, tetapi kemudian setelah kadar air kritis tercapai, air yang akan menguap harus berdifusi dari dalam bahan pangan. Inilah yang menyebabkan kadar lemak meningkat (Buckle, 1987).

Lemak cokelat adalah lemak nabati alami yang mempunyai sifat unik karena sifatnya yang tetap cair pada kondisi lingkungan dengan suhu di bawah titik bekunya (super cooling). Teknik tempering khusus dengan merubah struktur kristal lemak cokelat hingga pada titik lelehnya, 34-35 oC (Widyotomo, 2002).

Lemak cokelat mempunyai warna putih-kekuningan dan mempunyai bau khas cokelat, penyusutan volume (kontraksi) pada saat didinginkan sehingga padatan lemak yang dihasilkan sangat kompak dan mempunyai penampilan fisik yang menarik. Lemak cokelat memiliki susunan berbagai senyawa lemak jenuh, lemak tak jenuh dan gliserida mempunyai sifat rapuh (brittle) pada suhu 25 oC dan tidak larut dalam air, sedikit larut dalam alkohol dingin. Lemak cokelat larut sempurna dalam alkohol murni panas dan sangat mudah larut dalam khloroform, bensen dan petroleum eter (Ditjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian, 2005).

Lemak biji cokelat dikeluarkan dari inti biji dengan cara dipres dengan menggunakan hidrolic pressure. Inti biji yang masih panas dimasukkan ke dalam alat hidrolic pressure, sehingga cairan lemak akan keluar dari dalam inti biji. Rendemen lemak yang diperoleh dari pengepresan dipengaruhi oleh suhu inti biji, kadar air, ukuran partikel inti biji, kadar protein inti biji, tekanan hidrolic pressure, dan waktu pengepresan (Widyotomo, 2002).